#IndonesiaTanpaJIL? Gue Banget!

Berani gak bilang begitu? Kamu? Elu? Ente? Maneh? Kowe? πŸ™‚

ITJ bebas jil

Aku, mengenal gerakan Indonesia Tanpa JIL sudah sejak hestek #IndonesiaTanpaJIL bergulir di linimasa dan pertama kali kubaca di twitnya kang Akmal Sjafril. Tapi tetap aku gak begitu ngeh apalagi fokus. Pikiranku hanya, “Oh, JIL? Jadi mulai ada perlawanan untuk Ulil dan lainnya itu? Bagus ada yang mau memulai.” Udah. Gitu doang. ditoyor πŸ˜†

Aku tetap gak terlalu peduli (tega ya?) karena merasa gerakan ini hanya satu dari sekian banyak agendanya PKS. jreng! Iyaaaaa, aku mikirnya gitu lho! #IndonesiaTanpaJIL (ITJ) = PKS. Salah ya? πŸ˜› Yaaaa, sepanjang aku stalking setiap agenda kegiatan mereka, diisi oleh orang-orang PKS, jadi mohon jangan salahkan aku (dan pastinya mayoritas masyarakat) berpikir demikian. Tapi… Semua berubah drastis ketika aku melihat video ITJ yang menampilkan Fauzi Baadilah dan Arie K. Untung. Asli, mulai saat itulah aku membongkar siapa sebenarnya ITJ. Ternyata ITJ lepas dari PKS. ITJ bukan PKS. Ada perasaan lega. :mrgreen: Bukan apa-apa! Aku bukan hater PKS lho! Aku justru simpatisannya πŸ˜‰ Ya, hanya simpatisan. Untuk jadi kader, masih jauh panggang dari api deh!

Ternyata ITJ terbuka untuk siapa pun yang ingin berjuang menghalau /mencegah / menghentikan diaspora pemikiran liberalisme Islam. Plus sekularisme dan pluralisme Islam. Ini, perjuangan yang sangat berat. Bagiku sih iya. Siapalah aku ini. Bukan seorang muslimah yang terlalu taat juga. Masih berjuang bahkan untuk sekadar menutup aurat dengan benar. hening lama banget

Tapi tetap, bagi seorang yang mengaku beragama Islam, membela sampai titik darah penghabisan itu wajib hukumnya. Betul atau benar? “Ah elah, An! Gak usah sok fanatik deh!” Hm, kalau bukan pemeluk agamanya sendiri yang fanatik, trus mau berharap pada siapa? Nikmat iman Islam adalah anugerah luar biasa bagiku. Jadilah aku, dengan segala kekurangan yang ada, ingin maju membela agamaku meski masih berlumuran dosa. Jika Rasulullah membela dan memikirkan ummatnya sampai di akhir hayat dengan ucapan, “Ummati, ummati, ummati” lantas apa rasa terima kasihku atas pembelaan dan kasih sayang beliau? Membela perjuangannya, toh?

JIL membela LGBT (lesbian, gay, biseks, transgender). Saudaraku dan sahabat terbaikku gay. Kenalanku lesbi. Adik angkatku biseks. Aku menjauhi mereka? Gak. Aku alergi? Gak. Frontal menghadapi mereka bukan gayaku. πŸ™‚

JIL menganggap aneh jilbab. Mungkin mereka gak tau dan malah menolak lupa bagaimana kisah di balik turunnya perintah menutup aurat bagi muslimah. πŸ™‚

JIL membiarkan anak keturunannya menjadi gay atau lesbi. Itu anak darah dagingnya atau anak kucing, ya? πŸ˜€

Cara para musuh Islam dalam menghancurkan agama Allah sangatlah beragam. Pun, dari dalam sendiri. Dari mereka yang mengaku muslim… Sudah membaca cerita DI SINI?

Islam dipelintir sedemikian rupa oleh orang-orang yang mengaku Islam modern. Memangnya Islam kurang modern gimana lagi sih? Apa yang dibutuhkan manusia saat ini, sudah ada dalam Quran sejak 1435 tahun lalu lho! Banyak aja plintirannya. Salah satunya di flyer ini. πŸ˜€

FLYER ITJ

Terbersit keinginan bertemu dengan semua troops (panggilan ‘sayang’ terhadap saudara-saudara penggiat ITJ) dengan segala keterbatasanku. Kata temanku, kebaikan itu harus dipaksakan agar menjadi kebiasaan yang sulit diubah. Sepakat? Oke! Maka inilah skenario Allah: Tanggal 11-12 November aku ada meeting di Jakarta. Aku baca di linimasa tanggal 9-10 November akan ada silatnas (silaturrahim nasional) ke dua di Puncak. Temanya keren lho: One Movement, One Ukhuwah. Wah, sepertinya ide bagus untuk berta’aruf dengan semua punggawa ITJ nih! Kupikir sekalian anak-anak bermain dengan teman lamanya juga nih. Jadi, sementara aku menitipkan anak-anak di Depok, emaknya ke Puncak 2 hari dan Jakarta 2 hari.

Sempat drama juga, mengingat biaya silatnas “cukup besar” untuk orang seperti aku. Minder? Jelas! Tapi tetap harus memaksakan diri. Setelah meminta izin pada Allah, memohon restu-Nya agar aku bisa ikutan silatnas, segala daya upaya kukerahkan. Tanggal 8 pagi aku kerja dulu di kantor, setelah Jumatan naik bus ke Depok untuk menitipkan anak-anak lanjut ke Bogor untuk menginap sebelum besoknya ke Puncak.

Tanggal 9 pagi, aku sudah siap di terminal Damri Bogor sejak pukul 7 teng. Mulai hawa sejuk hingga matahari mulai terik dan akhirnya mandi keringat (maaaakkkk, cantik gue luntur deh! πŸ˜† ) . Alhamdulillah satu per satu teman-teman baruku datang. Mereka rata-rata peserta silatnas pertama. “Ketakutanku” yang pertama langsung terbukti. Kayaknya aku salah kostum, pikirku agak senewen. Hehehehe… Di sekelilingku adalah akhwat dengan gamis dan hijab lebar. Aku? ketawa miris Preman terminal πŸ˜†

Ya sudahlah ya, mari lanjutkan perjalanan ke villa Gema Insani Press di Cikole, Cisarua, Puncak. Debaran jantungku masih gak mau berhenti membuat panik. Semakin yakin aku bakalan jadi yang paling beda sendiri. TERNYATA BENAR, sodarah-sodarah! Siapa yang pakai celana jeans kecuali aku? Maksudku, yang perempuan aka muslimah aka akhwat. Eeeerrrr… Benar teman-temanku dari zaman kuliah dulu, “An, kamu sih gagahnya kebangetan!” πŸ˜€ Akhirnya aku mencoba menjadi diri sendiri, dengan kepedean akut πŸ˜€ Di meja registrasi, aku celingukan mencari teman sekampung alias chapter Bandung. Ah, itu mereka! ^_^

Chapter Bandung \m/
Chapter Bandung \m/

Oh ya, yang menjadi cerita seru banyak sekali. Paling melekat di hati adalah taushiyah ustadz Bachtiar Nasir yang menamparku malam-malam dengan telak. Betapa manjanya diri ini yaaa Allah…. Ketika aku agak terlambat untuk qiyamul lail (baru tidur pukul 2 karena mengecek kerjaan dari lepi) (elabuset An, masih mikir duniawi juga yak!), aku bergegas ke aula dan hanya mendapat 2 rakaat terakhir. Sedih. Kultum subuh amatlah menyejukkan. Rasa syukur atas karunia dan cinta Allah seolah tak mampu dijabarkan dengan rinci.

Saat pulang selesai silatnas adalah saat paling gamang. Ternyata begini yang namanya ukhuwah yang sempat hilang dari diriku. Dulu, ketika masih aktif di Daarut Tauhiid, aku sempat menikmati indahnya perbedaan dalam kebersamaan. Di Puncak kemarin, aku mendapatkannya lagi. Gemetar seluruh tubuh, Allah masih mengizinkanku kembali pulang pada-Nya.

Kembali ke Bandung, dimulailah segala yang namanya cobaan. Heu, mereka yang -tentu saja kontra dengan ITJ- justru teman baikku. Aku yang mengenal mereka seperti saudara sendiri.

“Ah elah, An! Lu ngapain sih ikutan ITJ? Kayak yang udah bener aja.” Ya justru karena aku gak bener ini mau jadi bener. Salah?

“Sok suci lu, An!” Lah justru karena aku gak suci, makanya mau membersihkan diri. Mati dalam keadaan kotor? Na’udzubillah! Jangan sampe deeeehh….

“Apa yang salah dengan JIL?” Banyak! Sangat banyak. Semuanya salah! Kalau kalian berpikir bahwa JIL harus dimaklumi dan didukung, itu hak kalian. Belalah JIL sepuasnya, sama seperti aku yang akan menentang JIL sampai aku mati.

“Ah, sok jagoan lu, An!” Aku sih gak ada apa-apanya dibanding mereka yang benar-benar terjun langsung di garda terdepan perjuangan. Aku? Baru sebatas ini saja. Menulis. Berdoa. Maafkan aku ya, troops 😦

Kamu, mau ikut berjuang? Hubungi chapter di daerahmu ya! Gak tau cara mengubunginya? Bisa ke pusat dulu ya! πŸ™‚

P.S:

Katanya ada yang dapat jodoh di lingkaran ITJ ya? Iya, alhamdulillah semakin erat kan ukhuwahnya? Banyak yang udah berisik aja, datang ke silatnas harus bawa CV πŸ˜† Aku gimana? melipir kalem

6 pemikiran pada “#IndonesiaTanpaJIL? Gue Banget!”

      1. mbak An, mohon ijin saya save picture “Wilujeng Sumping …” -nya untuk suatu saat saya gunakan sebagai banner tulisan tentang perang pemikiran. Tentu saja credit picture akan saya tulis πŸ™‚

        Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.