Seleksi Alam Selalu Berjalan Alamiah

Hal ini berlaku untuk apa pun. Bertemanan, bisnis, pekerjaan, bahkan jodoh. Tak ada istilah untung-untungan. Kerja keras dan doa. Ikhtiar dan dzikir. Berakhir dengan memasrahkan diri pada Allah.

who’s next?

Tetapi kemudian aku memikirkan satu hal. Hukum rimba itu nyata adanya. Tak hanya benar-benar di hutan, tempat yang terkuat adalah yang menang. Di kehidupan sosial manusia pun sama. Hanya saja, karena manusia diberi akal, maka lebih tepat dikatakan, “Yang pintar adalah yang menang.” Seharusnya. Namun tak jarang, si bodoh pun bisa menang karena punya kekuatan fisik.

Aku akan menulis tentang para bajingan kesayanganku sajalah. Ha, ini topik yang paling menarik minat Sean dan Ken. Baru kemudian John karena dia tahu belakangan.

Sebelumnya, aku pernah berbicara tentang Bob dan Joe. Ini yang kusebut seleksi alam. Yang kuat (dalam kamusku “yang cerdas”), yang bertahan. Joe, dengan keangkuhan dan kebodohannya, tersingkir secara alami tanpa ada paksaan. Dia, yang paling ngotot dan merasa yakin dengan kemampuan dirinya, malah terpental dan sampai sekarang tak pernah memunculkan wajahnya lagi di hadapanku. Pun tidak sebatas BBM atau DM atau inbox FB. Kemudian Bob. Dia datang hanya karena penasaran. Galau karena sesuatu dalam dirinya yang, menurutku, bertentangan dengan standarnya. Pun, mungkin karena malu padaku. Aku sempat sinis padanya, memang. Dan akhirnya, setelah pertemuan itu, dia menyerah. Tak ada komunikasi yang dulu kerap dia mulai padaku.

Mungkin, karena aku juga tak terlalu peduli pada Joe, ya aku tak terlalu ambil pusing ketika dia menghilang. Tetapi ketika Bob mulai mundur…. Sunggu ada kehilangan yang tak bisa kujelaskan. Entah.

Kini Ken mulai seperti Bob. Mungkin dia merasa biasa. Tapi insting gak bisa dibohongi. Kemudian, tanpa kuminta, dia sendiri yang bicara, “Aku hanya berani di dunia maya.” Ebuset, sebegitu pengecutnya kamu? Be gentle! Mana rahasia yang katamu hendak kauceritakan padaku, Ken?

it’s you!

Yang bertahan hanya Sean dan John, dengan cara mereka masing-masing. Menjadi sahabat mereka, suatu anugrah sekaligus bencana. Wakakakaka 😆 Sean si koleris dan John si sanguin memang paling mudah bertahan denganku yang melankolis. Beda dengan Ken dan Bob yang cenderung plegmatik. Kalau Joe sepertinya tak punya kepribadian. Ahahahaha 😀

Sean paling mudah menjadi teman bicaraku karena sifat dan sikapnya yang super absurd dan cuek. Siapa lagi yang bisa memanggilku “setan, goblog, tolol” yang kubalas dengan “monyet, bajingan, penjahat kelamin” itu? Dia yang pertama kucari ketika aku mendapat kesulitan. Dia pula yang pertama mengulurkan tangannya membantuku, di saat saudaraku sendiri bahkan tak peduli.

John, si periang yang perasaannya halus itu ternyata sensitif. Ada sisi melankolis yang tak boleh kusenggol. Dia menyenangkan ketika bercanda tentang apa saja. Bahasanya khas dan nyaris tak bisa dilawan. Tetapi dia pengertian dan bijaksana.

Menjadi pria pendamping dalam hidupku, entah sebagai sahabat, teman, pacar,  atau bahkan suami (nantinya gituh) sungguh tidak mudah. Banyak yang mengakui, menaklukkanku bukan perkara gampang. Kenapa? Karena mereka sangat tahu standarku sangat tinggi. Angkuh? Bukan. Aku sangat selektif. Sampai sekarang, melalui ujian alamiah, yang bertahan menjadi sahabatku sedikit sekali. Mereka tahu, menghadapiku butuh kesabaran ekstra. Heu 😛

Maka, aku membiarkan diriku cuek. Aku menerima siapa pun mendekat untuk berkenalan. Hanya saja, aku selalu bertaruh dari awal cukup dengan melihatnya sekilas. Orang ini akan bertahan atau tidak. (Ah lu sotoy, An! Mana bisa menilai orang semudah itu?) Ini caraku, jangan protes!

Udah ah ngocehnya. Panjang juga kali ini.

~Kangen Sean, John, dan Ken~

2 pemikiran pada “Seleksi Alam Selalu Berjalan Alamiah”

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.